Imam Ghazali menyebutkan, syukur itu tersusun dari tiga hal, yaitu ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Ilmunya ialah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Allah SWT. Keadaannya adalah menyatakan kegembiraan karena memperoleh kenikmatan. Amalnya adalah menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Allah SWT yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.
Syukur dalam bentuk amal berkaitan dengan amalan hati, anggota badan, dan lisan. Kaitannya dengan hati adalah sengaja berbuat kebajikan dan merahasiakanya kepada seluruh makhluk. Hubungannya dengan lisan adalah mengucapkan pujian, hamdalah, yakni mengucapkan "alhamdulillah" (segala puji bagi Allah). Kaitannya dengan anggota badan adalah mempergunaan kenikmatan itu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT, tidak mempergunakannya untuk berbuat maksiat.
Dengan demikian, nikmat harta disyukuri dengan menggunakan harta itu untuk kebaikan semata, sesuai dengan perintah Allah SWT, yakni untuk nafkah diri, keluarga, kerabat, dan kaum dhuafa dengan tetap mengeluarkan zakat, infak, dan sedekahnya. Termasuk syukur terhadap nikmat harta adalah mempersembahkan harta itu untuk jihad di jalan Allah atau menegakkan syi'ar Islam.
Allah SWT menjanjikan, amalan syukur disertai iman adalah penghalang turunnya siksa Allah di muka bumi ini. Sebuah bangsa tidak akan mengalami krisis atau kesulitan jika mereka beriman dan bersyukur. Tidaklah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman (QS an-Nisaa: 147).
Dia pun akan terus menambah kenikmatan itu jika kita pandai mensyukuri nikmat yang sudah diberikan-Nya (QS Ibrahim: 7). Sayangnya, sedikit sekali dari kita, hamba-hamba Allah, yang pandai bersyukur (QS Saba: 13), sehingga kesusahan kerap menimpa kita.